Industri telepon seluler (ponsel) berkembang sangat pesat. Dulu, fungsi utama ponsel adalah menelepon, seperti gambar di atas. Tapi kini, meski namanya tetap ponsel, pada dasarnya sudah berubah jadi semacam komputer genggam, yang terutama digunakan untuk berkirim pesan serta memotret. Dalam perkembangan drastis ini, sejumlah nama besar bertumbangan, misalnya Nokia, Motorola, dan Blackberry.

Ketiga nama tersebut tergusur oleh Apple dan Samsung. Setelah sekian lama berusaha bertahan, kesempatan bagi Nokia, Motorola, dan Blackberry akhirnya datang juga. Belakangan, angka penjualan iPhone milik Apple berkurang signifikan. Sementara Samsung terpukul oleh masalah baterai meledak, yang cukup mengurangi kepercayaan konsumen. Inilah saatnya merek-merek lain merangsek ke depan.

Nokia

Neo (Keanu Reeve) dan Nokia seri 8110.

Ingat adegan dari film The Matrix ini? Neo—diperankan oleh Keanu Reeves—berkomunikasi menggunakan ponsel seri 8110 milik Nokia, yang bentuk melengkungnya memberikan julukan “nokia pisang”. Setelah itu, mereka merilis seri 5110, yang di Indonesia disebut “ponsel sejuta umat”. Mereka kemudian memangkas antena dalam seri 3210. Dan mencapai puncak popularitas lewat seri 3310.

Nokia, perusahaan asal Finlandia ini, praktis jadi raja industri ponsel. Sejumlah seri Communicator dan seri 3650 yang tombol angkanya didesain memutar, misalnya, sangat sukses di pasaran. Nokia pun percaya diri mengembangkan sistem operasi Symbian. Tapi, kemudian datang sistem operasi Android milik Google.

Mulanya, Google mengajak Nokia. Tapi saat itu, Nokia tak mau meninggalkan proyek Symbian yang sudah mereka biayai cukup banyak. Google jadi beralih kepada HTC, Sony Ericsson, dan Samsung. Kita melihat bahwa Samsung meraksasa berkat proyek ponsel Android tersebut, lalu menggusur Nokia. Itulah kesalahan terbesar Nokia.

Ironisnya, Symbian kemudian tumbang juga, dikalahkan oleh Android. Selama beberapa tahun terakhir, Nokia menyibukkan diri dengan ponsel Lumia yang menggunakan sistem operasi Windows Phone milik Microsoft, serta ponsel “tidak pintar” seri Asha yang murah meriah.

Meski terpuruk, nama Nokia tetap terngiang di telinga para penggemar gadget. Kualitas produk Nokia memang terkenal tangguh. Banyak yang berangan-angan Nokia membuat ponsel Android. Akhirnya, Nokia pun akhirnya menuruti angan-angan tersebut. Barusan hadir Nokia 6, ponsel kelas menengah yang siap bersaing dengan merek-merek lain.

Menariknya, Nokia tak melupakan pasar ponsel “tidak pintar”. Mereka mengajak para penggemar bernostalgia lewat seri 3310 versi baru. Ponsel ini serupa dengan pendahulunya yang keluaran tahun 2000. Bedanya, kini lebih tipis, layarnya berwarna, dan ada kameranya.

Motorola

Martin Cooper, penemu ponsel, membandingkan Motorola DynaTac dengan ponsel masa kini.

Cukup lama Motorola jadi industri kebanggaan Amerika dalam bidang telekomunikasi. Bahkan, suara astronot Neil Armstrong dari permukaan bulan diterima oleh para manusia di bumi lewat piranti merek ini. Motorola juga jadi pionir pengembangan ponsel untuk pasar umum—tadinya khusus militer. Pada dekade 1980an, hanya orang tertentu yang mampu pakai DynaTac, ponsel buatan Motorola yang seukuran batu bata. Maklum, harganya kira-kira 100an juta rupiah untuk nilai uang sekarang.

Ketika ponsel mulai memasyarakat, Motorola mengandalkan seri StarTac yang berdesain flip. Cukup disukai, tapi masih kalah dibandingkan Nokia. Sepanjang era ponsel “tidak pintar”, serta memasuki era Android, Motorola jadi produsen papan tengah. Motorola beruntung tidak sampai seterpuruk Nokia.

Tapi, persaingan dalam industri ponsel cukup keras. Merek pendatang baru terus berdatangan. Sementara banyak pegawai penting Motorola dibajak oleh para perusahaan saingan. Motorola pun mengalami kesulitan keuangan, lalu perusahaan ini dijual kepada Google. Dari tangan Google, Motorola kemudian dijual lagi kepada Lenovo. Sekadar info, Lenovo adalah merek baru setelah IBM—perusahaan komputer kebanggaan Amerika—diambil alih oleh perusahaan asal RRC.

Dalam naungan Lenovo, lagi-lagi Motorola jadi merek papan tengah. Tapi, kini Motorola mengincar dominasi global yang dulu pernah digenggamnya. Mereka berusaha jadi pionir inovasi baru berupa ponsel modular. Ponsel jenis ini bagian belakangnya bisa dilepas, dan diganti-ganti berdasarkan fungsi yang diinginkan. Artinya, bisa dipasangi kamera lengkap dengan zoom optikal, atau pengeras suara berkualitas tinggi, atau proyektor mini, atau baterai cadangan yang berkapasitas besar. Proyek ini dinamai Moto Z.

Apakah ponsel modular akan jadi tren baru, bakal menentukan masa depan Motorola. Tapi, pionir memang punya kesempatan meraup untung. Sebagaimana Samsung pada awal era Android. Atau Motorola sendiri di zaman dulu, ketika memegang ponsel masih seperti mengangkat barbel.

Blackberry

Ponsel Blackberry generasi awal.

Tintung tintung… begitu bunyi ketika pesan BBM masuk. Ponsel Blackberry pernah jadi lambang status bagi masyarakat Indonesia. Bapak-bapak kantoran, ibu-ibu arisan, hingga anak-anak sekolah, sengaja bawa ponsel merek ini sekadar untuk pamer. Blackberry juga menandai pergeseran budaya, dari menelepon jadi lebih sering komunikasi tertulis—lengkap dengan bahasa alay-nya, hahaha…

Kiprah awal Blackberry agak berbeda dengan Motorola dan Nokia. Merek ini awalnya berkecimpung dalam bisnis pager (radio panggil) dua arah. Berbeda dengan pager konvensional, para pelanggan bisa langsung saling berkirim pesan, tanpa harus menelepon operator. Baru beberapa tahun kemudian Blackberry menyertakan fasilitas menelepon bagi pirantinya.

Blackberry cenderung bercitra serius, ponsel bagi kaum eksekutif. Mereka mengabaikan tren yang dibawa oleh Android, bahwa ponsel digunakan untuk memotret atau bermain video game. Sikap ini ternyata fatal. Para eksekutif yang jadi pasar utama Blackberry pun jadi tertarik ponsel Android untuk have fun. Sementara hadirnya aplikasi Whatsapp dan Facebook Messenger menggerus popularitas BBM andalan Blackberry. Merek asal Kanada inipun nyaris kolaps.

Mereka sempat merilis ponsel premium Blackberry Priv, yang—akhirnya—menggunakan sistem operasi Android. Setelah itu, merek Blackberry dijual ke beberapa pihak. Misalnya ke TCL, perusahaan asal RRC, yang berwenang menjual ponsel bermerek Blackberry ke hampir seluruh dunia. Juga ke perusahaan lokal sejumlah negara tertentu, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, merek Blackberry dikuasai oleh Tiphone, anak perusahaan Telkom Indonesia. Mereka dulu pernah membuat beberapa ponsel murah meriah, bersaing dengan Cross (kini Evercoss), Mito, Nexian, dan merek-merek lokal lainnya. Kini, mereka membentuk perusahaan baru BB Merah Putih yang menangani ponsel Blackberry.

Belakangan, TCL merilis ponsel Blackberry seri Dtek, yang desainnya konvensional. Barusan, mereka umumkan ponsel Blackberry KeyOne yang menggunakan papan ketik fisik. Proyek yang dulu bernama Mercury ini cukup dinanti para penggemar. Sayang namanya diubah, padahal Merkurius adalah dewa Romawi pembawa pesan, sesuai dengan papan ketik fisik yang mempercepat pengetikan pesan.

Sedangkan BB Merah Putih mempersiapkan pemasaran Blackberry Aurora. Desain ponsel ini konvensional, seperti seri Dtek. Jeroannya kelas menengah, sehingga harganya relatif murah. Namanya indah, tapi agak kurang pas. Aurora—tepatnya aurora borealis—adalah tirai cahaya di langit yang hanya terlihat di daerah dekat kutub utara dan selatan. Di Indonesia jelas tak ada aurora. Sebagai ponsel buatan perusahaan Indonesia, lebih baik dinamai Blackberry Equator (khatulistiwa) atau semacamnya. (*)

Baca juga:

Selamat Tinggal Arloji Pintar Pebble

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here