Lesti Kejora Damai dengan Rizky Billar. Psikiater: Bisa Ada KDRT Lagi!

Foto: Dok. Instagram @rizkybillar

KDRT yang dilakukan Rizky Billar kepada Lesti Kejora akhir-akhir ini menjadi perhatian publik. Mereka dulunya dinilai sebagai pasangan bahagia nan ideal, ternyata ada bencana dalam rumah tangganya. 

Perbincangan itu makin heboh ketika Lesti mencabut laporan kasus tersebut. Masyarakat merasa dibohongi karena sempat membela si korban. Tak sedikit pula yang merasa khawatir dengan keamanan korban yang kembali ke pelukan pelaku. 

|Baca Juga: Arist Merdeka Sirait Tuding Lesti Kejora Ekploitasi Anak Usai Cabut Laporan KDRT

Menurut psikiater dr. Nalini Muhdi, Sp.KJ (K), hal itu sering ditemui dalam kasus KDRT selama ini. Ternyata ada alasan khusus mengapa kebanyakan korban seperti Lesti mencabut laporan kekerasan yang dilakukan suaminya. 

“Jadi kenapa Lesti seperti begitu gampangnya memberi maaf, ya gak papa. Dia seorang yang baik hati dan bisa saja terjebak pada ‘Oh suamiku sudah sangat menyesal’. Di situlah kebanyakan korban terjebak,” jelasnya kepada Nyata melalui sambungan telepon pada (17/10). 

Foto: Dok. Jawa Pos

Nalini pun menyebutkan adanya siklus KDRT. Yang pertama, adanya ketegangan yang memicu kemarahan pelaku. Kedua, ada explosion atau kekerasan terjadi. Selanjutnya yang menjadi ciri khas adalah fase regret atau penyesalan. 

“Dalam fase regret, pelaku minta maaf. Di situlah korban terjebak. Apalagi setelah itu ada fase romance, di mana pelaku akan memberikan hadiah, pelukan, dan perlakuan manis lainnya agar korban percaya. Tapi suatu saat ketegangan akan muncul lagi. Jadi seperti lingkaran setan,” paparnya. 

Ia melanjutkan, “Kemungkinan besar (kekerasan, red) akan terjadi lagi jika ada faktor pemicu.” 

Saat kekerasan terjadi, korban merasa tak berdaya. Dia akan merasa marah, malu, sakit hati, dan ketakutan. Gejala psikiatrik juga bisa muncul seperti kecemasan, depresi, serangan panik, dan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). 

Menurut Nalini, anak pun bisa juga menjadi korban. Itulah yang terkadang dilupakan oleh korban yang beralasan untuk mempertahankan pernikahannya demi anak. Akibatnya, sang anak dapat memotret kenangan buruk yang dilakukan orang tuanya dan akan terjadi identifikasi serta internalisasi ketika dewasa. 

“Ada kemungkinan besar anak-anak akan meniru potret yang ia potret sejak kecil. Dia bisa saja menjadi pelaku atau korban saat dewasa nanti,” tambahnya. 

Namun, psikiater yang juga dosen di Universitas Airlangga Surabaya itu juga mengatakan bahwa korbanlah yang berhak memberi keputusan akhir. “Saya tidak boleh mengatakan harus bertahan demi anak. Namun, juga tidak bisa mengatakan bahwa harus bercerai. Tidak boleh. Keputusan tetap di tangan korban,” ucap Nalini dengan tegas.

“Yang penting, korban seperti Lesti harus diberi pemahaman tentang siklus KDRT. Kemudian harus menguatkannya, harus mampu berkomunikasi secara assertive (tegas,red). Lalu ada juga perjanjian secara legal (hukum). Sehingga kalau ada lagi, dia tahu apa yang harus dilakukan,” lanjutnya.

|Baca Juga: Gara-Gara Cabut Laporan KDRT, Lesti Kejora Terancam Diboikot Tampil di TV

Dengan adanya kasus ini, Nalini berharap masyarakat akan lebih sadar akan pentingnya memutus rantai kekerasan. Hal itu dapat diajarkan sejak kecil. 

“Cara masyarakat untuk memutus rantai kekerasan adalah kita harus menanamkan suatu budaya anti kekerasan dan diajarkan dari kecil. Dari satu generasi dan generasi lain,” tutup wanita berkacamata itu. *mir

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here