Usianya masih 14 tahun namun memiliki kecerdasan yang begitu luar biasa. Dia adalah Musa Izzanardi Wijanarko. Bagi kebanyakan anak lainnya, usia 14 tahun mungkin masih duduk di bangku kelas 8 atau 2 SMP. Tapi Izzan, panggilan akrabnya, lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada Selasa (13/6) lalu.
Dia diterima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB). ”Alhamdulillah, saya yakin tahun ini bisa diterima dan ternyata benar,” ujar Izzan ketika ditemui Nyata di rumah tantenya di Perumahan Graha Cinere, Limo, Depok, Kamis (15/6) lalu.
Tahun lalu, Izzan gagal masuk SBMPTN. “Ini kali ke dua ikut. Pertama nggak lulus karena nggak siap,” aku Izzan.
Putra pasangan Mursid Wijanarko (46) dan Yanti Herawati (46) ini sejak kecil berbeda dengan anak-anak seumurannya. Izzan, anak yang hiperaktif dan didiagnosa mengalami sindrom asperger.
Sindrom yang ditemukan Hans Asperger (1944) ini adalah salah satu gejala autisme di mana para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkung annya.
”Waktu kecil nggak bisa diam. Kata ibu, saat TK A (taman kanak-kanak) maunya di luar kelas terus, lari-lari, nggak aktif berkomunikasi, jadinya ya guru nggak sanggup. Teman-teman juga takut karena saya nakal,” ujar Izzan.
Baca Juga | |
Ney, Pelukis Henna Difabel Ternama di Yogyakarta Kecelakaan membuat Ney kehilangan fungsi tangan kanannya sekaligus mimpinya menjadi dosen. Kini … [Read More] |
Karena tak bisa mengikuti pelajaran dan berinteraksi dengan lingkungan sekolah, Izzan tak bisa melanjutkan ke TK B. Sang ibu memutuskan mengajari Izzan sendiri. Izzan beruntung punya ibu yang mengerti cara mendidik anak. Seperti menyiapkan aneka buku bacaan.
Dibanding menulis, Izzan lebih cepat belajar membaca. Di usia empat tahun, ia tertarik baca komik ilmuwan. ”Dari komik, saya mulai tertarik baca biografi tokoh ilmuwan seperti Einsten dan Newton,” kenangnya.
Hingga suatu hari Izzan tertarik teori Newton yang mengukur jarak planet dengan hitungan matematika. ”Mulai saat itulah saya tertarik pelajari matematika,” akunya.
Merasakan perbedaan di tengah anak sebayanya, Izzan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih nyaman belajar di rumah meski sebelumnya terbersit keinginan ikut sekolah formal.
“Sempat ingin seperti teman-teman pergi ke sekolah, tapi setelah kejadian itu saya mundur. Ibu bilang seperti itu sekolah formal, saya pasti tak bisa menyesuaikan,” jelas remaja kelahiran 24 Oktober 2002.
Izzan yang mulai fokus belajar di rumah. Mengalami hal yang kurang menyenangkan, Izzan mantap melanjutkan homeschooling.
Baca Juga | |
Putri Tukang Becak ini Meraih IP Tertinggi di Institut Teknologi BandungMungkin sebelumnya tidak banyak yang menyangka bahwa Herayati, putri tukang becak, ternyata … [Read More] |
Kali pertama ujian paket A pada 2013, Izzan merasakan pengalaman baru. ”Rasanya seperti hidup dan mati karena baru pertama ikut ujian. Belajarnya luma yan keras karena saya pikir ujian nya menentukan jalan hidup,” tutur Izzan sambil tertawa.
Lolos ujian kejar Paket A, setahun kemudian Izzan mengikuti ujian Paket B. Tapi saat akan ikut ujian Paket C, Izzan harus menanti dua tahun karena usianya tidak masuk persyaratan. Tahun 2016 saat Izzan berusia 13 tahun, keinginannya lulus ujian Paket C akhirnya terwujud. Setelah itu Izzan mendapat kesempatan ikut SBMPTN. *why/dro/fel