Member girlband K-Pop Secret Number, Dita Karang, kini tengah menyedot perhatian publik. Banyak para penggemar yang penasaran, bagaimana seorang warganegara Indonesia bisa bergabung dengan grup musik yang resmi debut pada 19 Mei lalu.
Salah satu yang mencuri perhatian pada Dita Karang adalah warna kulitnya yang berbeda dengan personel lainnya. Tak sedikit yang bertanya, apakah warna kulit Dita yang kecokelatan menyebabkan dirinya di-bully saat menjadi idol di Korea.
Menanggapi itu, Dita mengaku bersyukur tidak pernah merasakan rasisme. “Sejauh ini, aku belum pernah merasakan itu (rasisme),” aku Dita saat live IG bareng Dian Sastrowardoyo, Minggu (26/5).
|Baca juga: 6 Fakta Dita Karang, Idol K-Pop dari Yogyakarta yang sedang Hits
Dara 23 tahun itu juga mengatakan bahwa semua orang yang berada di lingkungannya, bersikap baik kepadanya.
“Selama ini aku lihat orang-orang, kayak di music broadcasting station, mereka semua biasa aja. Aku nggak terlalu ngelihat (rasisme) sih, personally. Tapi aku nggak ngerti, mungkin karena aku belum keluar lebih jauh lagi,” ungkapnya.
Beruntungnya, oleh orang di sekelilingnya Dita malah diminta memertahankan warna kulit asli. Tak ada standar kecantikan yang menuntut Dita untuk memiliki kulit putih seperti perempuan Korea pada umumnya.
“Malah mereka yang bilang kayak they like my tan skin, and just keep it that way (mereka suka kulitku yang kecokelatan, dan pertahankan seperti ini saja),” curhatnya.
“Mungkin selama kamu bisa berbahasa Korea, kamu jadi merasa nggak punya problem berkomunikasi atau mengemukakan pendapat. Sehingga kamu bisa berargumen dengan baik,” sahut Dian Sastro kemudian.
|Baca juga: Lagi Hits, Idol K-Pop Asal Indonesia Ini Dibikin Nangis Dian Sastro
Untuk menambah ketertarikan masyarakat Korea pada dirinya secara personal, Dita mengaku kini banyak memelajari budaya Negeri Ginseng itu secara mendalam.
”Karena aku mau beraktivitas di Korea, aku sebisa mungkin show them that I’m really interested in their culture and everything (Menunjukkan bahwa aku tertarik dengan kebudayaan mereka dan segala sesuatunya),” ujar perempuan asal Yogyakarta itu.
“Aku juga merasa mereka nggak mungkin hate me for loving their culture juga,” lanjutnya. (*)