Ketika duduk di kursi bioskop pada 2002 dulu, sebenarnya saya tak begitu paham akan menonton apa. Saat itu, perfilman Indonesia sedang menggeliat dari tidur panjangnya. Saya sudah nonton Pasir Berbisik dan Petualangan Sherina di gedung bioskop, serta Pachinko & Everyone’s Happy dalam format VCD, yang kesemuanya memuaskan. Sedangkan yang barusan saya beli tiketnya adalah Ada Apa Dengan Cinta?, sebuah film remaja yang sedang ramai dibicarakan.
Tak terasa nyaris dua jam film berlangsung. Saya keluar ruangan dengan menarik nafas panjang. Benar-benar film yang menghanyutkan. Kisah percintaan remaja yang kualitasnya jauuuuuh sekali dibandingkan sinetron. Si Cinta yang gaul dan si Rangga yang introvert dibawakan oleh Dian Sastro dan Nicholas Saputra dengan penuh chemistry. Teman-teman geng Cinta yang sangat memorable. Puisi yang menghentak. Serta tak ketinggalan, berbagai alunan musik yang saya sadar bakal sering disenandungkan orang hingga belasan tahun ke depan.
Tak salah lagi, perfilman Indonesia memang sudah bangkit.
Hingga bulan lalu, AADC seri pertama merupakan film Indonesia kontemporer paling sukses. Animo masyarakat terhadap film tersebut juga murni. Zaman itu belum ada kampanye masif di media sosial untuk mendongkrak film berkualitas seadanya. AADC juga tidak dikarbit oleh wakil presiden yang nonton lalu memuji, mendorong BUMN seluruh Indonesia berlomba-lomba cari muka menggunakan anggaran untuk nonton bersama seluruh karyawan dan keluarga, sebagaimana dialami oleh film Ayat-Ayat Cinta.
Setahun setelah AADC, sempat muncul film Eiffel I’m in Love sebagai epigon. Untuk menyaingi kharisma Nico dengan puisinya, diajukanlah Samuel Rizal dengan postur pemain basket, yang diharapkan lebih mampu mengambil hati para cewek remaja. Hasilnya kita semua tahu. Samuel Rizal dan lawan mainnya, Shandy Aulia, sudah lama tenggelam. Sementara Dian dan Nico merajalela dengan aneka peran yang dibawakan secara piawai.
Dian tampil antara lain dalam film Banyu Biru, serial TV Dunia Tanpa Koma, juga film Puteri Gunung Ledang buatan Malaysia. Sementara Nico berakting dalam Janji Joni, Gie, Pendekar Tongkat Emas, dan sejumlah film lain. Film 3 Doa 3 Cinta jadi reuni mereka yang unik, ketika Nico berperan sebagai seorang santri, sementara Dian jadi penyanyi dangdut keliling, tanpa ada nuansa romantis antara keduanya. Pertemuan mereka berikutnya adalah dalam film Drupadi, di mana Nico jadi Arjuna, sementara Dian jadi tokoh perempuan pelaku poliandri dengan kelima Pandawa.
Sementara itu, para pemain lain juga menikmati popularitas berkat AADC. Titi Kamal, Ladya Cheryl, Adinia Wirasti, Sissy Priscilla, serta Dennis Adhiswara seketika jadi selebriti. Film 3 Hari untuk Selamanya jadi catatan tersendiri, di mana Nico dan Adinia Wirasti dipasangkan secara sangat artistik.
Singkat cerita, waktu pun berlalu di dunia nyata. Cukup banyak film Indonesia berkualitas tinggi bermunculan—meski untuk genre remaja tetap AADC juaranya. Para pemain pun beranjak dewasa. Empat belas tahun berselang, lalu Mira Lesmana—produser seri pertama—mengumumkan suatu proyek sekuel. Sebagai pemancing animo masyarakat, dirilis terlebih dahulu video drama sepanjang 10 menit (bisa dilihat di sini), bekerja sama dengan jaringan Line.
Proyek utamanya sendiri, yang bertajuk Ada Apa Dengan Cinta? 2, akhirnya hadir di bioskop akhir April lalu. Konsep latar ceritanya serupa dengan film Arisan! 2 karya Nia Dinata, yaitu kisah lanjutan sesuai kurun waktu dunia nyata. Itu berarti, Cinta, Rangga, dan geng Cinta diceritakan telah 14 tahun lebih dewasa.
Banyak yang terjadi. Asmara antara Cinta di Jakarta dan Rangga di New York ternyata cukup lama kandas. Maura telah jadi ibu satu anak. Milly sedang hamil, hasil pernikahan dengan Mamet. Sementara Karmen baru saja pulih dari sebuah kesalahan hidup. Sayangnya, Alya tak lagi bersama mereka. Mereka tentu tak lagi SMA.
Dulu, lansekap merupakan salah satu kekuatan utama AADC seri pertama. Sutradara Rudi Soejarwo merupakan alumnus SMA Kolese Gonzaga yang jadi latar. Ia pun jadi sangat paham tempat mana yang paling cocok bagi adegan apa. Kini, tantangan menanti Riri Riza sebagai sutaradara baru. Ia pun memboyong Cinta dan ketiga sahabatnya rekreasi ke Jogja. Berbagai tempat wisata eksotik dan acara seni menarik pun disuguhkan. Lagi-lagi, serupa dengan konsep film Arisan! 2.
Di Jogja, Rangga ternyata juga sedang punya urusan pribadi. Karmen yang merasa berhutang budi mengambil suatu inisiatif, lalu mengalirlah kelanjutan kisah Cinta dan Rangga. Putusnya hubungan mereka jadi misteri yang diungkap secara perlahan. Setelah itu, penonton diajak merasakan bagaimana relasi rindu, canggung, dan benci antara keduanya.
Dalam AADC 2, alur bukanlah suguhan utama. Manjakan saja diri dengan segala adegan, percakapan, ekspresi, serta emosi para tokohnya. Puisi dan musik tentu saja tetap jadi perhatian. Dan satu hal yang saya sukai dari film Indonesia selevel ini, yaitu tidak bertele-tele. Misalnya, bagaimana suasana pertemuan antara Karmen dan Rangga? Silakan bayangkan sendiri. Film ini hanya menampilkan hasil dari pertemuan tersebut.
Meski bukan lagi film tentang remaja, tapi AADC 2 punya rating usia yang serupa dengan pendahulunya. Tak ada adegan dewasa, sehingga cukup layak ditonton oleh remaja, yang mungkin akan jadi tertarik juga mencari versi DVD seri pertamanya. Tapi, terlepas dari sukses-tidaknya meraih penonton baru, AADC 2 sedari awal dipastikan laris. Para mantan penggemar Cinta dan Rangga kebanyakan kini jadi orang-orang dewasa yang mapan. Tak perlu perhitungan untuk beli tiket bioskop. Bisa menonton lebih dari sekali. Dan bisa juga mentraktir orang-orang lain untuk ikut nonton.
Di kursi bioskop, tinggal sandarkan badan lalu biarkan jiwa kita kembali terhanyut oleh kisah roman, sebagaimana belasan tahun silam. (*)
Review film lainnya: