Bencana longsor di Papua Nugini meninggalkan duka yang begitu mendalam bagi warga Provinsi Enga, atau bahkan dunia. Bencana itu menelan ribuan korban jiwa.
“Ada 18 anggota keluarga saya yang terkubur di bawah puing-puing dan tanah tempat saya berdiri, dan masih banyak lagi anggota keluarga di desa yang tidak dapat saya hitung,” kata warga Evit Kambu seperti dikutip dari Reuters.
“Tetapi saya tidak dapat mengambil mayatnya jadi saya berdiri di sini tanpa daya,” lanjutnya.
Bencana longsor yang menelan ribuan orang tersebut terasa begitu pilu, dapat terbayang suasana ketika terjadinya longsor besar itu di jam 03.00 dini hari ketika sebagian orang sudah tertidur pulas.
| Baca Juga: Papua Nugini Longsor, 2.000 Orang Terkubur Hidup-hidup
Ibu yang telah tertidur dengan anaknya, seorang ayah yang sedang berjaga, bisa jadi bayangan untuk menggambarkan suasana tersebut.
Menteri Pertahanan Billy Joseph mengatakan 4.000 orang tinggal di enam desa terpencil di daerah Maip-Mulitaka di provinsi Enga, tempat tanah longsor terjadi pada Jumat dini hari ketika sebagian besar sedang tidur.
Ratusan rumah terkubur di bawah puing yang tingginya hampir setara dengan dua lantai sebuah bangunan. Teriakan-teriakan terdengar dari bawah bumi oleh tim penyelamat.
Peristiwa ini sangatlah meninggalkan luka mendalam untuk masyarakat dan bahkan dunia yang melihat peristiwa kemanusiaan ini. Banyak orang juga yang masih tidak percaya, orang yang benar-benar mereka cintai harus terperangkap di bawah timbunan longsor.
| Baca Juga: Australia Segera Kirim Bantuan Tanggapi Longsor Papua Nugini
Banyak orang masih tidak yakin apakah orang yang dicintai terperangkap karena sering kali warga desa pindah antara rumah teman dan kerabat, menurut Matthew Hewitt Tapus, seorang pendeta di ibu kota PNG Port Moresby yang desa kelahirannya dekat dengan bencana tersebut.
“Tidak seperti semua orang berada di rumah yang sama pada waktu yang sama, jadi Anda memiliki ayah yang tidak tahu di mana anak-anak mereka, ibu yang tidak tahu di mana suami mereka, itu kacau,” katanya kepada Reuters melalui telepon.
Warga yang hanya mengandalkan sekop dan tangan tampak terus berusaha mencari keluarga atau rekannya yang telah tertimbun oleh hamparan tanah. Mereka terus menggali dan seakan tidak peduli akan bahaya yang mungkin terjadi.
Diketahui sebelumnya, bencana longsor telah menimpa Provinsi Enga Jumat (24/05) dini hari. Dalam bencana tersebut, 2.000 orang terkubur hidup-hidup dan menelan lebih dari ratusan korban jiwa.
| Baca Juga: 14 Warga Jadi Korban Banjir dan Longsor di Sulsel
Tim bantuan juga telah dikerahkan demi menyelamatkan korban yang tertimbun, sulitnya akses menuju lokasi terjadinya longsor menjadi hambatan dan rintangan yang harus dilalui oleh tim bantuan.
Ketua Komite Bencana Provinsi Enga, Sandis Tsaka mengatakan bahwa daerah longsor sangat tidak stabil dan longsor kemungkinan masih aktif.
“Daerah longsor sangat tidak stabil. Ketika kami berada di sana, kami sering mendengar ledakan besar di tempat gunung itu berada, masih ada bebatuan dan puing-puing yang berjatuhan,” kata ketua komite bencana provinsi Enga, Sandis Tsaka seperti dikutip dari Reuters.
“Longsor masih aktif, karena orang-orang menggali bebatuan, masih banyak lagi yang turun,” sambungnya.
Keadaan darurat tersebut juga telah diumumkan ke seluruh wilayah bencana dan daerah sekitarnya, dengan total keseluruhan mencapai 4.500 hingga 8.000 jiwa, Tsaka mengatakan bahwa pemerintah belum memerintahkan semua orang untuk mengungsi. (*)