Kabar baik bagi wanita Indonesia. Akhirnya setelah 10 tahun dalam penantian, Rancangan Undang-Undang Pelecehan dan Kekerasan Seksual atau disingkat RUU PKS berhasil disahkan menjadi Undang-Undang Tindak Pelecehan dan Kekerasan Seksual (UU TPKS) oleh Ketua DPR, Puan Maharani, Selasa (12/4) siang.
Tepuk tangan membahana di ruang rapat paripurna. Suara itu berasal dari masyarakat umum yang sebagian besar adalah wanita dan anggota dewan.
| Baca juga: Gempar! Ibu di Brebes Bunuh Anak Kandungnya
RUU ini pertama kali digagas oleh Komisi Nasional Perempuan pada tahun 2012, melihat semakin meningkatnya angka kekerasan dan pelecehan seksual pada wanita dan anak. Sehingga diperlukan payung hukum untuk memberikan perlindungan, salah satunya berupa konseling agar mental korban perlahan jadi pulih.
Namun di tengah prosesnya, ada saja orang-orang yang tidak setuju dengan Rancangan Undang-Undang ini, seperti yang dilakukan Maimon Herawati, yang mencetuskan petisi “TOLAK RUU Pro Zina” pada 27 Januari 2019 di situs change.org.
Maimon keberatan dengan materi dibolehkannya hubungan seksual atas dasar suka sama suka dan aborsi. Gara-gara ini juga, RUU PKS dinilai tidak sesuai dengan Pancasila, agama, dan adat ketimuran.
| Baca juga: Tragis! Wanita Pakistan Ini Dipenggal Kepalanya Karena Menolak Lamaran Kekasih
Harus menempuh proses yang alot, akhirnya tahun ini RUU tersebut disahkan juga. Beberapa poin penting yang ikut diatur dalam UU PKS adalah sebagai berikut:
- Pelecehan seksual non-fisik
- Pelecehan seksual fisik
- Pemaksaan kontrasepsi
- Pemaksaan sterilisasi
- Pemaksaan perkawinan
- Penyiksaan seksual
- Eksploitasi seksual
- Perbudakan seksual
- Kekerasan seksual berbasis elektronik
| Baca juga: Ngeri! Kepala Ibu Hamil di Pakistan Dipaku Gara-Gara Ingin Punya Anak…
Dibanding RUU PKS yang asli, dua poin yang sempat jadi polemik, yaitu pemerkosaan dan aborsi dihapuskan. Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi beberapa orang, termasuk Dian Novita dari Lembaga Bantuan Hukum “Apik” Jakarta.
“Bagaimana mungkin RUU yang bicara tentang kekerasan seksual, tapi tidak berbicara pemerkosaan dan aborsi. Ini rohnya RUU TPKS jadi menghilang,” ungkapnya dilansir dari BBC Indonesia, Senin (4/4) lalu.
Sementara menurut Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya, poin mengenai pemerkosaan dan aborsi selanjutnya akan berada di bawah aturan Undang-Undang Kesehatan
“Kan tidak boleh dua norma hukum itu bertabrakan, jadi kita gunakan undang-undang yang sudah ada,” katanya.
“Kebetulan kita kan yang mewakili pemerintah juga, dalam hal ini Wamenkumham juga yang bertanggung jawab terhadap RKUHP pemerkosaan memang tidak dimasukkan, karena penjelasan beliau ada di RKUHP dan yang kedua aborsi itu ada di Undang-Undang Kesehatan,” sambungnya.
Meskippun tidak sempurna, harapannya setelah RUU TPKS disahkan menjadi Undang-Undang, para penyintas kekerasan seksual pada wanita dan anak lebih berani bersuara dan mampu mendapat keadilan. (*)