Garin Nugroho baru saja menyelesaikan film bisa hitam putih terbarunya yang berjudul “Samsara”. Film bisu tersebut berlatar Bali tahun 1930-an.
Proses syuting film bisu Samsara ternyata bukanlah perkara mudah. Pasalnya, Bali dikenal sebagai wilayah yang sangat kental dengan unsur kebudayaannya.
Di sebuah lokasi, Garin Nugroho bahkan harus menyiapkan sajen khusus untuk menghormati kepercayaan masyarakat setempat.
| Baca Juga: Film Bisu Samsara Karya Garin Nugroho Tuai Pujian di Singapura
“Itu menjadi penting dan harus diceritakan. Tempat itu tempat gaib dan mistik. Paling berat. Kalau ditanya, apa pun yang nanti dijadikan syarat antara terlihat dan tak terlihat itu harus disediakan (sesajennya),” kata Garin di kawasan SCBD, Jakarta Selatan.
Menjadi lebih sulit karena ternyata Garin harus menyiapkan sesajen yang berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan tergantung tempat yang akan dijadikan sebagai lokasi syuting.
“Jadi satu tempat untuk sesajinya berapa banyak, itu berbeda-beda. Hal itu yang harus kita lakukan sebagai tanda permisi,” ungkap Garin.
| Baca Juga: Garin Nugroho Kenang Kisah Berbangsa Melalui Musik
Samsara sendiri adalah film bisu hitam putih, tanpa menggunakan dialog. Uniknya, film ini menggabungkan musik gamelan Bali dengan musik elektronik.
Garin menuturkan jika dirinya ingin menyuguhkan sebuah karya yang berbeda.
“Enggak ada sutradara senekat saya. Itu menunjukkan bahwa elektronik menghidupkan karya. Menariknya digabungkan dengan seni teater yang perlu detail. Itu memaksa penonton EDM untuk menemukan dunia teater, dan penonton teater menemukan EDM. Sintesis dari dua hal kontras itu sebenarnya sangat dicari oleh seniman,” ucap Garin.
“Samsara itu artinya siklus kehidupan menuju kebaikan yang harus terus diperbaiki dan diperbaiki terus,” sambungnya. (*)