Seorang pasien meninggal setelah menjalani perawatan di klinik chiropractic. Seberapa berbahayanya terapi ini?
Terapi chiropractic sudah ada sejak 1895 di Amerika Serikat, kemudian berkembang ke Kanada dan Australia. Ketiga negara itulah yang paling dominan mengembangkan chiropractic. Seiring berjalannya waktu, chiropractic terus berkembang hingga menyebar ke 120 negara, termasuk Indonesia.
Di negara asalnya, awal kemunculannya, chiropractic sempat menimbulkan kontroversi. Banyak orang bingung apakah terapi ini tergolong tindakan medis atau bukan. Belakangan chiropractic masuk sebagai pengobatan alternatif. Para chiropractor (pelaku chiropractic,red) hanya diperboleh membuka praktik dalam bentuk klinik yang diberi nama klinik chiropractic.
Di AS, kasus kematian akibat chiropractic cukup banyak, ada 26 orang meninggal setelah menjalani terapi ini. Meski begitu tempat praktik chiropractic tak pernah ditutup.
Menurut dr Ketut Martiana SpOT, Spesialis Orthopaedic Konsultan Spine Rumah Sakit Premier Surabaya, tindakan mempelentir dan menarik tulang belakang, yang dapat dilakukan pada tulang leher, punggung, pinggang, pinggul, hingga tulang ekor, sesuatu yang lazim dilakukan chiropractor pada pasiennya sangat berbahaya. Karena dapat menyebabkan kelumpuhan, stroke, hingga kematian.
”Fokus terapi chiropractic pada tulang belakang. Dasar pemikirannya, bila ada pasien mengalami keluhan tulang belakang, berarti sendi tulang belakang pasien mengalami subluksasi (sendi miring) atau dislokasi (sendi bergeser). Sehingga bagian tulang belakang yang mengalami nyeri perlu dibetulkan dengan tindakan mempelentir dan menarik hingga bunyi krek,” kata Ketut kepada Nyata.
Dalam dunia kedokteran, jika seseorang mengalami subluksasi maupun dislokasi pada tulang belakang pasti akan mengalami kelumpuhan. Sebaliknya, pasien yang tadinya hanya mengeluhkan nyeri di bagian tulang belakang, tapi masih dapat berjalan, dengan dilakukan tindakan chiropractic justru akan membuat tulang belakang mengalami subluksasi atau dislokasi. “Karena tulang belakang terdiri dari syaraf. Jika antara satu tulang dengan tulang yang lain bergeser, pasti syarafnya akan terjepit hingga putus. Itu yang menyebabkan kelumpuhan,” terangnya.
Putusnya saraf pada tulang belakang juga menyebabkan stroke. Seperti yang terjadi pada seorang gadis asal Jakarta yang meninggal setelah menjalani terapi ini. Berdasarkan hasil autopsi, dia meninggal karena mengalami pendarahan di bagian leher sebelah kiri. Karena pembuluh darah leher sebelah kiri robek, otak tidak mendapatkan supplay darah. ”Itu sama dengan terjadinya stroke pendarahan. Di mana penyakit stroke dibedakan menjadi dua jenis, stroke pendarahan dan penyumbatan. Gadis itu mengalami stroke pendarahan,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini.
Tindakan chiropractic juga menyebabkan tulang rusuk pasien patah. Kasus ini sering terjadi pada pasien lanjut usia. ”Untuk pasien usia muda jarang ditemui, mungkin karena tulang mereka masih lentur,” jelasnya.