We Dance, Ketika Balet Bertemu Tari Tradisional

Ada yang berbeda di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (30/9). Biasanya, panggung GKJ mementaskan musik dan teater. Tapi hari itu, sejak pukul 11 pagi, sejumlah penari tampak melakukan warm up di atas panggung dan di belakang panggung.

Para penari tersebut tidak membutuhkan upaya keras untuk menyesuaikan gerakan mereka dengan tata musik dan cahaya panggung. Maklum, mereka adalah penari profesional. Dengan rentang usia 13 hingga 30 tahun, mereka terdiri dari 13 penari utama, ditambah delapan penari pendukung (apprentice).

Di panggung, mereka menampilkan lima jenis tarian, dengan tema dan cerita berbeda. Salah satunya adalah tarian Sipatmo, karena meleburkan balet dengan tari congkek. Sangat kental dengan nuansa Betawi peranakan, tarian tersebut diiiringi lagu-lagu seperti Jali Jali, Dayung Sampan, dan Surilang.

Setelah Sipatmo, berturut-turut tarian berjudul Psycolor, yang menjadi perwujudan berbeda dari setiap individu manusia, untuk saling melengkapi demi sebuah keharmonisan. Lalu tarian Burn In Passion, yang memadukan neobalet dengan flamenco. Berikutnya Festivo—menampilkan kemeriahan musim panas di Jepang lewat gerakan hip hop dan kontemporer—menjadi tarian penutup yang manis.

Cerita dari masing-masing tarian berbeda. Kita tampilkan cerita terputus, tapi masing-masing memiliki cerita sendiri. Misalnya Sipatmo, yang menceritakan fase kehidupan perempuan dari remaja hingga dewasa,” kata Claresta Alim, artistic director gelaran tersebut.

Acara bertajuk We Dance yang digelar 1-2 Oktober kemarin jadi perkenalan terbentuknya Indonesian Dance Company (IDCO). Institusi ini diharapkan menjadi wadah profesional bagi mereka yang serius mengembangkan dan mendedikasikan dirinya ke dunia tari.

Claresta Alim yang banyak memiliki pengalaman menjadi penari dan pengajar di luar negeri, termasuk Amerika Serikat. Ia mengaku prihatin dengan kondisi tari di Indonesia.

Di luar negeri, melalui company, para penari itu bisa terjamin kehidupannya karena dia mendapat gaji. Melalui IDCO, kita buka pintu bagi seluruh penari profesional di Indonesia untuk bergabung, sehingga bisa melahirkan penari berbakat yang bisa bicara sampai ke pentas internasional,” jelasnya.

Selain itu, Claresta melihat banyak potensi budaya di Indonesia yang bisa dikembangkan dalam dunia tari. Ia menilai bakat anak-anak muda Indonesia tidak kalah dengan luar negeri.

Saya lihat bakat anak-anak muda di dunia tari bagus-bagus ya. Sayang, mereka sekarang lebih kebarat-baratan, padahal Indonesia itu seni budayanya kaya banget. Sayang kalau tidak dikembangkan,” jelas gadis cantik kelahiran 15 Agustus 1991 ini.

Di IDCO, saat ini sudah 13 penari profesional yang terseleksi. Namun Claresta masih membuka pintu bagi calon lain untuk ia seleksi. “Kami akan melihat bagaimana teknik menarinya, tapi juga behave dan latar belakang, serta tujuannya menari. Karena di balet bukan hanya persoalan menari, tapi juga teamwork,” pungkas Claresta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here