Filippo Sorcinelli, desainer asal Italia menjadi tokoh penting di balik pakaian indah yang dikenakan oleh para Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
Saat usianya 13 tahun, Filippo menjadi organis gereja katedral di kota Fano, Rimini, dan San Benedetto del Tronto. Dia juga berbakat dalam bidang musik, mengambil kursus di Institut Kepausan Musik Suci Roma dan terlibat dalam festival musik bergengsi di Italia.
Dengan jiwa seni yang tinggi, pada 2001, Filippo mendirikan sebuah label bernama Lavs Atelier yang khusus mendesain pakaian suci, menggabungkan seni dengan agama. Dia ahlinya dalam membuat busana Liturgi yang biasa dikenakan oleh rohaniawan Kristen.
Filippo telah membuat lebih dari 50 pakaian untuk mendiang Paus Benediktus XVI. Dia juga membuat 20 pakaian untuk Paus Fransiskus yang terpilih saat ini, termasuk pakaian misa di awal kepausannya pada 2013 lalu.
| Baca Juga : Rayakan Ulang Tahun ke-102, Nenek Ini Lakukan Aksi Terjun Payung
Desainer berusia 49 tahun itu bisa menghabiskan waktu 1.000 jam hanya untuk satu jubah. Hasil karyanya bisa dijual mulai EUR 1.000-7.000 (Rp 17-119 juta).
Namun, ada sisi kontroversial pada diri Filippo Sorcinelli. Selain mendesain baju Paus, dia juga seorang homoseksual yang berkarya untuk komunitas LGBT. Salah satunya adalah membuat produk parfum bertema gay.
Dalam wawancara dengan DW News pada tahun lalu, Filippo menyuarakan pendapatnya tentang gereja yang tidak boleh membeda-bedakan umat.
“Gereja seharusnya ramah, tidak boleh menghindari apa pun, harus terbuka dengan semua aspek masyarakat kita,” katanya.
| Baca Juga : Aldila Sutjiadi, Atlet Tenis Indonesia Pertama di Semifinal US Open
“Gereja harus menghadapi segala sesuatu tanpa rasa takut karena itu juga merupakan bagian dari pesan Kristiani,” lanjut si desainer.
Komentar itu diucapkan Filippo beberapa bulan sebelum Paus Fransiskus menjadi sorotan karena menggunakan istilah homofobia.
Pemimpin gereja Katolik itu dilaporkan mengatakan bahwa pria homoseksual tidak boleh diterima di seminari gereja (sekolah khusus melatih calon pendeta) dalam sebuah pertemuan tertutup. Menyebut mereka sebagai sesuatu yang tidak senonoh.
Menyusul ucapannya tersebut, Paus Fransiskus meminta maaf kepada orang-orang yang tersinggung karena penggunaan istilah yang kurang tepat. (*)